Photobucket

Kamis, 27 Mei 2010

Tamu dari Negeri Kompeni


Seusai memberi kuliah sore buat mahasiswa Stisip, aku bergegas ke pelabuhan Sape untuk mengecek bisnis warnetku yang baru berumur dua minggu. Operator warnet yang terlihat letih, langsung kuganti tugasnya dan menyuruhnya istirahat.

Letak Gaelby Net Café yang berada di sekitar losmen penginapan dekat pelabuhan transit Sape Bima, memungkinkan para turist yang ingin melancong ke Taman Nasional Komodo ataupun kembali dari flores NTT ke Bali, menginap 1 sampai 2 hari di kota pelabuhan Sape Bima Timur, sambil menunggu jadwal keberangkatan kapal fery dan angkutan umum yang terkadang suka telat.

Daun Singkong

Lembayung senja selepas Magrib masih samar-samar terlihat. Pengunjung warnet biasanya didominasi oleh para bule kalau kebetulan terjadi perubahan jadwal keberangkatan kapal fery.
Dua gadis cantik nampak di halaman parkir masing-masing dengan sepedanya, kelihatan terburu-buru, langsung masuk ke Gaelby Net. Roman mukanya memancar kecewaan, karena 10 unit komputer warnet telah terisi. Terdengar keluhan kecewa dari bibir sensualnya seperti berbahasa Jerman. Aku hanya bisa mengira-ngira.
Kedua gadis ini tetap sabar menunggu di kafe sebelah warnet sambil memesan dinner. Penjaga kafé datang ke arahku dengan langkah cepat dan bertanya :

“Mereka memesan duang sangkuriang. Kami bingung apa maksudnya?”
“Haahh, duang sankuriang? Bahasa apa tuh ! Daun singkong kaliiiii.”

Aku spontan nyeletuk dan beranjak dari tempat server menuju kedua gadis itu. Kebetulan bahasa Inggrisku, nggak jelek-jelek amat.

Sekarang aku berdiri tepat di hadapan keduanya yang duduk di kursi kafe. Ouih… Bujuk buneng ! Cantik dan sexy banget ! Aku terperanjat, walau berbeda warna, jenis pakaian yang dipakai hampir sama. Karena sama-sama memperlihatkan belahan dada yang… Ehm ! Sorry… gak bisa dijelaskan dengan kata-kata sederhana. 
. “Are you talking about duang sangkuriang?”

“Yuph, I’m vegetarian. I’d like to have my food with duan sankuriang.”

Wanita dengan kaos putih berambut pirang menimpali sambil memperlihatkan buku kecilnya, berisi foto semangkok sayur daun singkong yang dicampur santan kelapa.

“Haahaaa..haaaa…haaa… It’s daun singkong” Aku terbahak, serentak diikuti pelayan dan tamu kafé.

“You have to call it correctly. Daun Singkong, all right?”
“Ahaa… you’re right! Daun singkong.” Ia tersipu dengan bahu sedikit terangkat.

Tak terasa, jarum jam menunjuk jam 10 malam. Aku ngobrol dengan kedua cewek cantik ini selama hampir 4 jam.
Setelah saling mengenalkan diri, ternyata dua wanita cantik ini bukan dari Jerman seperti dugaanku. Keduanya dari Holand Nedherland. Gadis berkaos pink bermata biru bernama Jolien Tewelscher, 23 tahun, mahasiswi peneliti kimia dan yang berkaos putih dengan rambut pirang, Arween De graaf 31 tahun. Wanita mapan bergelar Doktor Hukum sebagai Advokat ternama di Belanda. 

Sesuai jadwal, besok pagi mereka akan melanjutkan perjalanan menuju Denpasar setelah sekian lama melancong mengelilingi Indonesia bagian timur..

Sembari menyolek Jolien, Arwen bergegas beranjak dari tempat duduknya ke arah ruang warnet untuk  mengisi bilik kosong diikuti Jolien. Rupanya dari tadi memperhatikan bilik kosong. Dalam waktu hampir bersamaan, aku ke server untuk cek billing.
Suasana menjadi sepi, karena keduanya sibuk dengan urusannya masing-masing di depan Komputer Client.

“Escuse me, Your mouse doesn’t start.” Suara Jolien memecah kesunyian. 


Aku segera menuju bilik Jolien. Sewaktu mencoba menjalankan mouse yang memang perlu diganti, secara tidak sengaja melirik di monitor Lcd, Jolien membuka milis Bike to work. Aku penasaran, karena termasuk salah satu anggota perkumpulan pengguna sepeda Bike to Work Indonesia dan sudah terbiasa berinteraksi dengan milis itu.

“Are you used to share with this millis Jolien?” tanyaku penasaran.

“Yuph. Arween and me are incluling the member of Bike to work club”

“Me too, I can’t belive it.” Aku menimpali dengan nada kaget.

Roman muka tidak percaya dengan alis terangkat dari Jolien, menyelidikku seakan tidak percaya.

“Are you sure ! You must be kidding me”

Setelah mengganti mousen yang rusak, aku menyuruhnya mengecek kembali milis itu, apakah aku memang termasuk member atau asal ngarang saja.
Terlihat jelas di baris pertengahan, tertera namaku dan langsung menyuruhnya untuk klik ke foto profilku.
Jolien memperbesar ukuran foto profil sambil langsung menatap ke arahku dengan sedikit melotot.

“Exactly… you’re right Didi.” Celetuknya, sambil memanggil Arween dan menjelaskan kejadian itu dalam bahasa Belanda. Aku pusing mendengar percakapan mereka, karena mereka mengucapkannya seperti orang pilek berdahak. :))
Tiba-tiba Arween mendatangiku dengan senyum manisnya. Terasa agak janggal bagiku, karena dari gerakannya dia hendak merangkulku.

Dengan sedikit reflek aku mengelak. Walaupun dia sangat cantik, postur tubuhnya yang tingginya dua meteran itu, membuatku sedikit waspada.
Ternyata selama ini, kami hanya bertemu di milis dunia maya dalam sebuah klub pengendara sepeda. Tidak berlebihan antara saya dengan mereka, cepat sekali akrab.


.



Gaelby Net, tutup jam 11.00 malam. Tamu sudah berangsur pulang tersisa hanya kami bertiga, berdiskusi dengan suasana akrab. Prioritas utama mereka masuk warnet tadi, mencari informasi alamat perwakilan Bike to work di Kota/Kabupaten Bima. Secara kebetulan mereka menemukan orang yang mereka cari.
Aku teringat Olan, teman bersepedaku dan termasuk pengurus Bike to work Bima. Langsung saja aku berinisiatif untuk meneleponnya dan menyuruhnya untuk datang. Tapi sayang hp Olan tidak aktif. Karena memang sudah larut malam.


Update tentang Indonesia

Keramahan kedua wanita ini, membuatku betah untuk berlama-lama ngobrol mengenai banyak hal.
Cerita di kalangan pemandu wisata tentang turis asal Belanda yang terkenal pelit dan tidak sopan, tidak kutemui pada sosok Arween dan Jolien. Mereka begitu menyenangkan, smart dan enak diajak berdiskusi.
Tema diskusi kami antara lain tentang Indonesia. Mereka menyesalkan terjadinya kolonialisme dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh nenek moyang mereka terhadap Rakyat Indonesia. 

Otomatis, rasa Nasionalisku saat itu, seakan mendapat energi ekstra dari biasanya. Mereka secara langsung mendapat update tentang kondisi Indonesia dari opiniku yang menceritakan secara panjang lebar hal positif mengenai Indonesia.
Tentang betapa pentingnya untuk tetap menjunjung tinggi martabat dan jati diri bangsa, HAM, demokratisasi, politik santun, dan yang lainnya.
Yang menarik bagiku, adalah saat mereka mempertanyakan tentang gender dan Terorist.
Mengapa dalam Islam tidak membolehkan seorang Imam dari kalangan perempuan? Mengapa hanya laki-laki yang boleh poligami sedangkan wanita tidak?
Mengapa Islam Identik dengan terrorist?

Sebisanya aku menjelaskan bahwa keadilan gender dalam Islam bukan berarti menyama ratakan semua aspek. Definisi Keadilan dalam Islam adalah Proporsional. Semua hal, harus diletakkan dalam proporsi dan dosisnya masing-masing.
Sepasang sepatu seharga 2 juta rupiah, walaupun mahal, tidak mungkin kita letakkan di atas kepala. Sebaliknya, sebuah topi yang harganya hanya 10 ribu rupiah, tentu saja tidak akan kita letakkan di telapak kaki.
Jawabanku tentang Terorist, bukan karena Islamnya. Tetapi personal atau komunitas tertentu yang memang memiliki interpretasi yang keliru dalam memahami kitab suci. Perlakuan deskruktif, bukan hanya ada di kalangan individu yang kebetulan beragama Islam, tetapi banyak juga berasal dari Kristen, Hindu, Yahudi dan lain-lainnya.

Kami asyik berdiskusi sampai jam tanganku telah menunjuk angka satu. Kami sepakat untuk bertemu besok di hotelnya. Keduanya meminta waktuku untuk menemani mereka bersepeda, sebelum mereka meninggalkan Bima.


Obat kram yang mujarab.

Arween, Jolien dan Olan telah meninggalkanku lumayan jauh, ke arah jalan menanjak menuju Pantai Papa Sape Bima.

“Guabraakkkk!..... Aaaaaaaaaaakh… Olan… Tolooong, tolooongg !…

Aku mengerang seperti kucing terlindas truk, terjatuh dalam posisi sepeda terlempar. Persendian kaki dan paha, terasa teramat pegal dan sakit karena kram.

Kami telah bersepeda hampir seharian, dengan rute sulit dan menantang. Medan yang kami lewati berliuk, menanjak curam dengan tikungan tajam.

Biasanya, aku dan Olan bersepeda paling jauh 10 Km. Tiada waktu senggang kami lewatkan tanpa bersepeda. Walau terkadang menjadi cibiran dan kelihatan aneh di lingkungan kota Sape dan sekitarnya, kami tetap saja tidak memperdulikan ejekan mereka.
Bisa dimaklumi, karena eforia modern telah merambah daerah kami dengan munculnya kendaraan merek terbaru, dari motor sampai mobil.
Terdapat kebanggaan tersendiri saat bersepeda dengan pakaian kebesaran kami. Helm, baju, serta topi berlogo bike to work dengan bendera merah putih di sampingnya

Dari jam 10 siang, saat sinar matahari panas menyengat, tidak biasanya aku dan Olan mampu menaklukkan bukit Mangge Ampe Kaleo Sape tanpa henti langsung mencoba rekor baru menuju Pantai Papa Lambu dengan hanya sedikit istirahat untuk minum. Kami telah melewati rute perbukitan antara Kecamatan Sape dan Kecamatan Lambu Kabupaten Bima, kira-kira lebih dari 35 Km.

Mengapa kami begitu kuat dan perkasa? Padahal tidak minum jamu, multivitamin ataupun semacamnya?

Jawabannya, karena ditemani oleh dua bule cantik dan sexy asal Holland bernama Arween dan Jolien. Heehee…heee… hee….

Saat aku sibuk mengurus otot paha dengan posisi terguling, agar bisa meringankan kram otot yang teramat menyiksa, kemudian Olan muncul juga. Rupanya dia turun dari tanjakan bukit untuk mencariku.

“Kenapa neh? Kita tungguin dari tadi koq gak nongol-nongol. Eeh…malah tidur-tiduran di sini.”

“Tidur-tiduran, Nggak liat apa. Otot paha dan kakiku pada kram neh, tolongin donk…”

“ckkckkk….ckkk…ckkk, kram atau kumat lagi Abu Nawasnya neh. Karena lihat cwek cantiq kali.”

Layaknya juru pijet berpengalaman, Olan merenggangkan otot betis dan paha. Kemudian aku disuruhnya tiarap dan melipat kedua betis. Hasilnya? Malah tambah sakit. Gak ngaruh, heheee

Aku masih mengerang kesakitan. Tiba-tiba Arween dan Jolien muncul dengan raut muka khawatir, ikut menolong. Baru saja jemari kedua gadis cantik itu menyentuh bagian betis, serta merta aku langsung merasa agak enakan dan eitttt…. Langsung sembuh dan bangun. Ckk.. ckkk…


Olan, Jolien dan Erwin serentak menertawaiku. Entah karena takut atau karena sihir dari jemari kedua wanita itu, yang paling penting, aku sudah sembuh dari kram.

Kami langsung melanjutkan pertualangan itu. Menanjak, turun, berbelok diiringi gelak tawa dan canda. Sungguh hari yang menyenangkan. Karena asyiknya, kedua cucu kompeni ini lupa, bahwa jam 4 sore tadi seharusnya mereka sudah check out dari hotelnya. Berarti mereka telah menunda jadwal perjalanan yang telah mereka rencanakan sebelumnya.







Untuk pertama kali, saya dan Olan ditemani oleh anak moyang kompeni itu. Setelah naik turun bukit berkelok, akhirnya sampai juga di Pantai Papa Lambu dengan pasir putih bersihnya.

Dibawah remang temaram petang, kami menikmati sunset di pantai itu. Dasar bule, mereka tidak boleh lihat pantai. Tanpa membuang kesempatan, mereka segera bersiap untuk mandi. Waduuuuh… selanjutnya, anda bisa tebak sendiri apa yang terjadi. Heheeee…
Read more... Tamu dari Negeri Kompeni