Photobucket

Sabtu, 19 Juni 2010

Virus Kesuksesan

Virus Kesuksesan- telah menjangkiti manusia di muka bumi, sehingga orang-orang berlomba mengejarnya. Sukses diinterpretasikan bahwa manusia akan terasa berharga, terhormat, pintar dan bermartabat.

Buku-buku, artikel, bisnis online seputar “Bagaimana menjadi orang sukses?” laku keras bak kacang goreng. Begitu juga dengan seminar dan  pelatihan tentang topik yang satu ini, sangat gencar diselenggarakan di berbagai tempat.

Bahkan karena virus sukses inilah seorang motivator beken Andrie Wongso dengan mottonya , “Succes is my right” (sukses adalah hak saya) dalam bukunya berjudul Kalau mau kaya ngapain sekolah (Edy Zaqeus 2004 : 43) sangat rajin memberikan ceramah dimana-mana.

Sah-sah saja jika sodara-sodari blogger menuduh saya mengkritik buku-buku itu, gara-gara diri saya sendiri belum sukses. Ckkk…ckkkk… Kalau Andrie Wongso dan yang lainnya mengatakan kesuksesan adalah haknya, maka saya juga punya hak untuk mengkritiknya.

Kembali lagi ke topic awal !
Sesuatu yang berbau sukses dikemas sedemikian rupa menjadi sesuatu yang harus dikejar dan dicari-cari. Suksespun akhirnya menjadi barang dagangan yang diberhalakan.

Buku Essential Frankfurt School Reader,  dari Filsuf kontemporer bernama Herbert Marcuse menyebutnya dengan commodity fetishism atau pemberhalaan komoditas.

Maka jadilah sukses itu “tuhan baru” di segenap hati orang yang memimpikannya. Siapapun yang tidak bersedia menyembahnya maka dia dianggap menyimpang, primitive, bodoh dan semacamnya.

Hakekatnya yang kita cari dalam kesuksesan adalah kebahagiaan. Maka pertanyaannya, Apakah menjadi orang bahagia harus terlebih dahulu menjadi orang sukses
Sebagaimana yang telah dikonstruksi oleh manusia modern abad ini, sukses itu harus menjadi atasan, punya mobil sendiri, kerja di ruang ber AC, pandai berbahasa Inggris, bergelar macam-macam, makan di kafe elit atau di restaurant bergengsi, punya apartement dan lain-lainnya.

Kita berharap akan bahagia bila sukses ada di genggaman kita. Benarkah ? Ternyata tidak. Tengok saja orang-orang yang katanya sudah sukses itu berbondong-bondong mengikuti majelis-majelis zikir yang diadakan oleh Ustadz Arifin Ilham, Aa Gym dengan manajemen qolbunya, Ary Ginanjar Agustin dengan ESQ serta majelis-majelis lainnya.

Atau lihatlah betapa banyak orang yang katanya sukses ternyata merana dan menderita hatinya ketika menjalani hidup keseharian. Tragisnya banyak yang akhirnya mengakhiri nyawanya sendiri.
Atau tengoklah kasus Ariel, Luna Maya, dan Cut Tary. Mereka dianggap sukses dengan profesinya sebagai artis/actor, presenter dan model papan atas. Tetapi apa yang terjadi dengan mereka sekarang setelah mencuat skandal video mesum Ariel, Luna Maya, dan Cut Tary. Apakah sekarang mereka bahagia dengan kesuksesannya ?

Fenomena seperti inilah yang dikatakan oleh seorang pakar dan dokter psikologi pendidikan, Paul Pearsall  dengan istilah toxic success atau sukses beracun. Sukses yang ternyata tidak dapat membeli kebahagiaan. Gejala inilah yang sekarang banyak menyebar di dunia modern tetapi malah dianggap sesuatu yang normal-normal saja.

Sukses beracun, justru banyak diburu. Bahkan untuk mencapainya, banyak orang yang harus kehilangan waktu untuk keluarganya, kerabatnya dan yang lebih sering adalah kehilangan waktu untuk Tuhan Yang Menciptakan Kesuksesan itu sendiri.

Pasalnya, kesuksesan sudah disembah yang berakibat mengorbankan banyak hal di kehidupan kita. Kesuksesan sudah terlanjur ditafsirkan dengan ukuran yang begitu kasat mata (lahiriyah) yakni yang berlambang jabatan, kemakmuran, dan kekayaan.

Prof. Dr. Tharik M. Suwaidan dalam bukunya Sukses tanpa batas— Sukses adalah sesuatu yang tidak kasat mata, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tidak terkandung dalam keaneka ragaman kekayaan, tidak juga bisa dibeli dengan harta benda.
Kesuksesan itu bersifat internal dan terdapat dalam relung hati manusia.

Boleh jadi yang mendapatkan kesuksesan itu adalah yang cukup puas asal bisa hidup  mandiri, tidak menjadi parasit, dan bisa berekspresi secara merdeka.
Ukuran kesuksesan bukan pada posisi jabatan yang kita miliki melainkan pada seberapa bagus kita menjalani pekerjaan amaliah kita, bagaimana melaksanakan ikhtiar  di atas rel yang positif  dan dapat mensyukuri apa yang dimiliki. Wallahu’alam  bil shawab

Good bye toxic success !

Disadur dari berbagai sumber.
Read more... Virus Kesuksesan