Photobucket
Tampilkan postingan dengan label bonsai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bonsai. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 Mei 2010

Reformasi Penjurian Kontes Bonsai


Setiap pameran (kontes) bonsai selalu saja terjadi kontroversi soal hasil penilaian para juri. Ketidak-puasan selalu saja muncul dalam berbagai bentuknya. Model penjurian yang selama ini dilakukan PPBI dianggap ketinggalan jaman. Maka muncul model penilaian alternatif. Meski ternyata, hal ini juga tidak lepas dari kontroversi juga.
Selama ini, model penjurian yang dilakukan oleh Juri PPBI adalah menggunakan metode kuantitatif. Bahwa setiap bonsai peserta pameran dinilai dalam bentuk angka-angka, sehingga akhirnya dapat direkap dan diketahui bonsai mana yang mendapatkan nilai tertinggi. Itu sebabnya dalam sebuah kontes, panitia akhirnya dapat menyebutkan Best Bonsai in Show, The Best Ten, The Best in Size atau The Best in Species.
Di sisi yang lain, ada model penjurian (sebut saja) kualitatif, yaitu memilih bonsai-bonsai yang terbaik menurut penilaian masing-masing juri, kemudian dilakukan cross check sehingga akhirnya ditemukan sejumlah bonsai terbaik. Pemberian angka dapat dilakukan setelah ditemukan nominasi bonsai terbaik tersebut.
Masing-masing model penilaian tersebut seolah-olah menjadi dua kutup dalam kontes bonsai. Model kuantitatif dilakukan PPBI, sedangkan model kualitatif dilakukan dalam pameran non-PPBI. Meskipun, PPBI sendiri pernah melakukan model penilaian kualitatif, yaitu ketika dilangsungkan pameran ASPAC di Bali tahun 2007. Hal ini karena semua jurinya berasal dari luar negeri.
Tanpa bermaksud mempertentangkan dua model penilaian tersebut, setidaknya model kedua (kualitatif) muncul karena ada ketidak-puasan terhadap penilaian kuantitatif yang dilakukan juri-juri PPBI. Suara-suara yang selama ini muncul, menganggap bahwa juri tidak mengikuti perkembangan dunia bonsai. Itu sebabnya bonsai yang menang kebanyakan gaya formal, atau bonsai yang “memohon” (menyerupai pohon mini). Sedangkan bonsai gaya “kontemporer” dipastikan tidak akan mendapat juara.
Kecenderungan seperti ini dianggap menghambat perkembangan bonsai. Ketika bonsai sudah memasuki wilayah seni, maka aspek estetik sangat penting diperhitungkan. Bonsai tidak bisa hanya semata-mata dinilai berdasarkan angka-angka kuantitatif belaka, melainkan harus juga memperhitungkan aspek estetikanya. Dengan kata lain, bahwa dalam seni bonsai terkandung juga ekspresi pembuatnya (baca: seniman bonsai).
Hanya saja, satu-satunya kontes bonsai yang masih ”diakui” selama ini adalah model penilaian kuantitatif gaya PPBI itu tadi. Apa boleh buat. Orang boleh saja protes, tidak puas, menolak dan sebagainya, namun selama mengikuti pameran PPBI maka harus tunduk pada aturan penjurian yang sudah dibakukan oleh satu-satunya perkumpulan penggemar bonsai di Indonesia itu. Dengan kata lain, kalau tidak setuju model penilaian seperti itu, ya gak usah ikut pameran. ‘
Dan memang begitulah yang terjadi selama ini. Sudah semakin banyak orang-orang yang menolak penjurian model PPBI, kemudian bersikap “dewasa” dengan cara tidak ikut pameran. Bahkan, ada juga yang terang-terangan menolak ikut pameran karena ada oknum juri yang dianggapnya tidak credible dalam melakukan penilaian. Ada pemain bonsai senior yang terang-terangan menolak ikut pameran kalau nama-nama tertentu tercantum menjadi anggota Tim Juri. Dan hal ini, sah-sah saja dilakukan. Ketimbang memaksakan diri ikut, tapi kemudian ngomel-ngomel terhadap hasil penilaian.
Tentu saja, kondisi ini menjadi bahan introspeksi bagi Juri PPBI sendiri. Mereka perlu melakukan evaluasi, baik terhadap sistem, maupun personal jurinya sendiri. Perbaikan harus terus menerus dilakukan, karena seni bonsai terus berkembang. Perkara laju upaya perbaikan itu masih belum sebanding dengan tahapan perkembangan seni bonsai, yang penting sudah ada upaya memperbaiki, dan tidak bersikukuh pada status quo.
Berbagai Pendapat
Kontroversi model penilaian bonsai yang ideal ini pernah dimunculkan ke permukaan oleh majalah Green Hobby (sudah tidak terbit lagi, red) sekitar dua tahun yang lalu. Pendapat Freddy, Sulistiyanto, Robert Steven dan Gunawan, di bawah ini, disarikan dari majalah tersebut.
Menurut Freddy Kustianto, mantan ketua Dewan Juri PPBI, juri bonsai harus menguasai ilmu botani. Tidak bisa hanya menilai bonsai semata-mata hanya dari segi penampilannya saja. Juri harus kuasai karakter masing-masing jenis pohon, tahu habitatnya, sehingga juga harus tahu tingkat kesulitannya. Sehingga, tidak bisa dilakukan penilaian dengan menyamaratakan semua jenis tanaman. Harus ada penilaian berdasarkan spesiesnya, dan juga ukurannya.
Sementara Sulistiyanto Soejoso, salah satu pendiri PPBI Sidoarjo, berpendapat sebaliknya. Juri bonsai tidak perlu memperhitungkan aspek botani, sebab pada prakteknya juri kita memang bukan ahli botani. Aspek kesehatan juga tidak perlu diperhitungkan, sebab bonsai yang tampil mustinya harus sehat. Bonsai adalah karya seni rupa, jadi harus dinilai berdasarkan penampilannya belaka. Tidak mungkin juri menguasai semua jenis pohon sebagaimana mengenalnya dengan baik di alam.
Sedangkan Gunawan Wibisono, ketua Dewan Juri PPBI, secara umum menyatakan, bahwa sistem penjurian bonsai yang dilakukan selama ini sebetulnya merupakan bagian dari proses pembelajaran bagi para penggemar bonsai. Itulah sebabnya ada rapor penilaian yang dibuat dalam setiap kontes. Memang banyak yang tidak sesuai dengan yang diinginkan sebagai penjurian yang ideal, namun tak bisa menyalahkan juri saja. Semua pemain bonsai harus introspeksi.
Umar Hs, sekretaris Dewan Juri yang ditemui oleh majalah Jelajah Bonsai baru-baru ini, mengungkapkan bahwa perbaikan demi perbaikan terus menerus dilakukan oleh Dewan Juri PPBI. Bahwa sepanjang sejarah PPBI baru dalam periode ini dilakukan pertemuan rutin setiap 6 (enam) bulan sekali antarjuri, yang selalu saja membahas upaya untuk memperbaiki sistem penilaian.
Bahwa bonsai adalah sebuah karya seni, sudah direspon oleh para juri dengan mengubah metode penilaian dengan mengutamakan aspek penampilannya lebih dulu, baru kemudian dinilai aspek-aspek yang lainnya. Para juri juga diharuskan keliling lokasi pameran lebih dulu untuk mendapatkan gambaran umum mengenai kualitas peserta, dan boleh melakukan penilaian darimana saja, jadi tidak langsung memberi angka pada bonsai yang pertama kali dilihatnya.
Dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Asosiasi Klub Seni Bonsai Indonesia (Aksisain) di Surabaya akhir Februari lalu, Wahjudi D. Soetomo juga mengemukakan model penilaian tersendiri dalam pameran bonsai. Menurut pendiri Forum Komunikasi Bonsai Surabaya (FKBS) ini, ada tiga hal penting yang harus diperhatikan terkait penjurian bonsai. Yaitu, wawasan tentang bonsai, kriteria penilaian, dan kriteria juri itu sendiri.
Bahwa juri harus menguasai betul apa yang disebut bonsai itu. Bahwa bonsai disamping sebagai obyek juga sebagai subyek. Bonsai yang baik harus memenuhi dua faktor, yaitu organik dan estetik. Terhadap dua aspek itulah dilakukan penilaian terhadap bonsai, berdasarkan obyektivitas dengan menggunakan ilmu pengetahuan serta wawasan tentang bonsai yang baik sebagai pijakan. Sedangkan sosok juri itu sendiri, haruslah orang yang punya wawasan luas tentang bonsai, bisa membuat bonsai, punya karya tulis tentang bonsai serta memiliki reputasi baik di bidang bonsai secara nasional maupun internasional.
Pandangan dari orang luar bonsai, datang dari Suwarno Wisetrotomo, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Menurut kurator yang berpengalaman dalam banyak pameran senirupa nasional itu, penjurian justru harus mengutamakan kondisi kehidupan bonsai itu sendiri. Boleh-boleh saja bonsai memiliki ungkapan estetik yang indah, namun kalau kemudian disiksa sedemikian rupa sehingga tinggal hanya dua daun misalnya, itu tidak dapat ditoleransi sama sekali.
Bahwa bonsai sudah memiliki rumahnya sendiri, yaitu Seni Bonsai. Karena itu diperlukan penjurian lintas disiplin untuk menilai bonsai, tidak cukup hanya dari sisi estetisnya saja, sehingga dapat mengembangkan parameter dengan adanya perpektif bandingan dari luar bonsai. Dalam kompetisi senirupa misalnya, kadang diperlukan seorang filsuf untuk memberikan penilaian menurut keahliannya.
Sumber : Majalah JELAJAH BONSAI edisi 01 – 2010
Read more... Reformasi Penjurian Kontes Bonsai

Senin, 19 April 2010

Bonsai sebagai seni dan miniatur keindahan alam



Tuhan telah menciptakan alam yang sudah menyediakan pepohonan dengan keindahan tersendiri. Namun manusia juga bisa menambahkan keindahan ketika pohon itu dipindah dalam pot sebagai bonsai.
Maka, bonsai yang bagus adalah yang memiliki keindahan alam dan sekaligus keindahan seni. Keindahan alami adalah keindahan transenden, kata Sigit Margono, dosen seni patung yang sering menjadi pengamat bonsai.

Keindahan alam sudah ada dengan sendirinya. Tinggal bagaimana manusia mempelajari dan menikmatinya. Keindahan dari alam adalah keindahan yang mengikuti bahannya sendiri. Namun ketika pohon itu dijadikan bonsai, maka dibutuhkan program, training, dan serangkaian perlakuan lain untuk mencapai keindahan seni. Dengan catatan, keindahan seni itu tetap tidak terlepas dari keindahan alam.

Karena bonsai adalah medium bagi seniman untuk menjadikan karya yang diinginkan. Bonsai ibarat kanvas bagi seniman lukis, atau sebongkah kayu bagi seniman patung. Bedanya, dan inilah keistimewaannya, bonsai harus tetap menjadi pohon hidup.

Soal keindahan itu memang relatif, namun menurut Wahjudi D. Soetomo, keindahan dapat dipelajari. Ada ilmunya. Standar keindahan bonsai memang tergantung katagori bonsai itu sendiri. Kalau bonsai konvensional, tentunya harus mengacu pada aturan atau pakem yang sudah ada.
Misalnya soal perbandingan besar batang, cabang dan ranting. Juga arah percabangan, posisi dimana cabang itu tumbuh. Serta juga bagaimana pula dengan kaki atau akarnya. Sedangkan bonsai kontemporer, cenderung bebas, tidak ada aturan baku yang harus dianut untuk dapat disebut indah. Satu-satunya aturan yang harus dianut adalah, bahwa bonsai itu harus tetap hidup.

Bonsai itu tergolong seni rupa tiga dimensi. Namun menurut Sunardi, penggemar bonsai Probolinggo, bonsai tidak bisa digolongkan seni rupa. “Bonsai yang tetap bonsai. Bahwa bonsai itu seni memang iya, yaitu Seni Bonsai,” ujar mantan Kepala Cabang Dinas Pendidikan yang rajin berburu bonsai itu.
Wahjudi yang merasa bertanggungjawab sebagai pihak yang mencetuskan wacana itu, menerangkan bahwa pada hakekatnya seni rupa itu adalah karya seni yang mengedepakan aspek rupa (visual).

Kalau diterapkan pada bonsai, maka ada elemen-elemen seni rupa yang dapat diterapkan. Yaitu, ada komposisi, keseimbangan, harmoni, proporsi, kedalaman, keserasian, pusat perhatian (center of interest) dan unity (kesatuan). Kesemuanya itu merupakan hal-hal mendasar dalam seni rupa. Juga pada bonsai.
Pameran nasional bonsai di Bali tahun lalu yang diselenggarakan dalam rangka ASPAC IX, menurut Wahjudi membuktikan bahwa keindahan seni pada bonsai mulai diakui. Pameran yang seluruh jurinya berasal dari luar negeri itu ternyata banyak memberikan penghargaan pada bonsai bergaya kontemporer.

Bagaimana menangkap keindahan pada sebuah bonsai?

Yang perlu diperhatikan adalah garis, yaitu imajinasi kita terhadap fakta visual. Garis dapat dibaca pada batang, cabang dan ranting.
Kedua, bentuk, yaitu kumpulan daun atau silhoutte tanaman secara keseluruhan. Daun itu sendiri sebagai bentuk mikro, sedangkan kumpulan daun adalah bentuk makronya. Ketiga, adalah nilai, yaitu aspek gelap terangnya cahaya. Keempat, tekstur, yaitu kualitas permukaan yang dapat diraba. Dan terakhir, yaitu warna, yaitu kualitas permukaan yang ditimbulkan oleh cahaya. Warna, bukan hanya pada daun, batang, namun juga pada potnya.

Salam Blogger, Bravo Bonsai Indonesia !

(Majalah GREEN Hobby, No 11 – 2008)

Read more... Bonsai sebagai seni dan miniatur keindahan alam

Senin, 14 Desember 2009

Refreshing dengan Bonsai Santigi (Pemphis Accidulla)


Banyak macam cara untuk menghindari kejenuhan alias suntuk. Apalagi teman-teman blogger yang salah satu rutinitasnya berhubungan dengan mencari inspirasi posting, blog walking, promosi blog dan lain-lain yang tentu saja tidak selamanya lagi mood atau stabil, pasti ada saja rasa bosannya.
Salah satu refreshing alternatif dengan memelihara tanaman Bonsai Santigi. Yang jelas bukan membonsai KPK atau Bank Century hehee... tapi justru membiasakan diri untuk hidup berbasis Konservasi (Ramah Lingkungan)
Ada banyak pohon yang bisa dibonsai, salah satunya Pohon Santigi. Di dunia bonsai, Santigi yang nama latinnya Phempis Accidula sangat terkenal dan dicari karena kriteria yang ada padanya sangat cocok dengan kriteria tanaman untuk di bonsai.
Kriteria-kriteria itu antara lain, berbatang keras sehingga mampu hidup puluhan bahkan ratusan tahun. Kriteria selanjutnya adalah tanaman ini mempunyai daun-daun yang kecil-kecil sehingga mendukung penampilan bonsai yang berumur tua dan mengalami treatment pengkerdilan. Kriteria lainnya adalah tanaman ini mempunyai tekstur kulit batang yang berkeropak-keropak atau pecah-pecah yang mengesankan keangkeran dan tua, walaupun pohon tersebut sebenarnya masih berumur muda.


Di pulau Jawa pohon ini namanya juga berlainan, di daerah pantai selatan Yogyakarta, orang menyebut pohon ini dengan nama Pohon Drini, sehingga ada pula bernama pulau Drini yang sudah tak ada pohonnya, ada pula yang menyebutnya kayu Kastigi atau Setigi. Sedangkan ditempat lain juga ada, misalnya didaerah pantai utara Jepara, pulau Karimun Jawa dan ada pula di ujung timur pulau Jawa di dalam areal Taman Nasional dan didaerah Indramayu Jawa Barat, sehingga disana terdapat kampung yang diberi nama Kampung Cantigi.

Konon pula kayu Pohon Santigi ini menurut kepercayaan orang-orang didaerah masing-masing mempunyai khasiat dan kegunaan yang berbeda-beda, di Jawa Tengah dan Yogyakarta kayu ini dicari karena dapat digunakan untuk kayu gagang keris karena kekerasan kayu ini, ada pula yang percaya kayu ini untuk menawarkan racun atau bisa apapun, dan juga digunakan untuk media alat pengurut badan manusia. Konon di Jawa Timur banyak juga yang menggunakan kayu ini untuk membuat tasbih, dan bahkan dijual sampai ke Mekkah. Pernah pula kayu ini ditelitioleh ilmuwan, bahwa dapat digunakan untuk penetralisir di tambak-tambak udang.

Ternyata dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, pohon Sentigi yang ada di Pulau Sumbawa NTB yang tersebar di Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Bima.
Di Kabupaten Bima sendiri, Santigi banyak didapati di Selat Sape (Bima Timur) yang merupakan perbatasan antara Propinsi NTB dan NTT.

Sudah sejak lama dari sekitar tahun 90an, sudah banyak yang diambil oleh para penghobi dan kolektor bonsai santigi yang berasal dari luar Pulau Sumbawa, bahkan di Jawa harganya yang sudah "jadi Bonsai" dan juara di kontes mencapai ratusan juta.
Walaupun begitu, sampai saat ini di Pulau Sumbawa terutama di Kabupaten Bima, masih terdapat banyak tanaman ini dan bahkan masih ada hutan santigi.

Anda ingin refreshing dan mengenalnya lebih jauh atau bahkan ingin mengoleksinya? Pasti seru... Dengan senang hati saya akan menjawab hal-hal yang berhubungan dengan Pohon/ Bonsai Santigi (Pemphis Accidulla).
Read more... Refreshing dengan Bonsai Santigi (Pemphis Accidulla)

Kamis, 18 Juni 2009

Refresing dengan Bonsai Cemara Udang


Mengisi waktu luang untuk memelihara bonsai dan tanaman hias ternyata mengasyikkan. Bonsai yang terlanjur identik dengan hoby "orang kaya" adalah tidak semuanya benar dan bertentangan dengan karakter keindahan bonsai maupun tanaman hias yang dianugerahi Allah Yang Maha Pencipta dan Yang Maha Indah untuk semua mahluk. Jadi mahluk yang bernama "orang kaya" tidak boleh mengklaim bahwa keinginan untuk menikmati dan menikmati bonsai hanya milik mereka.
Jadi refreshing untuk menikmati tanaman hias bisa dimiliki semua kalangan tanpa membedakan status sosial ataupun si kaya dan si miskin.

Salah satu bonsai dan tanaman hias dalam postingan ini adalah cemara udang.
Cemara udang adalah tergolong tanaman tahan cuaca. Tidak heran dalam kontes bonsai, cemara udang termasuk tanaman idola, disamping karena keindahannya juga akhir-akhir ini termasuk tanaman yang sulit ditemukan atau langka.
Koleksi bonsai cemara udang saya, tidak ada hubungannya dengan kontes bonsai karena tujuannya memang untuk dinikmati sendiri, syukur-syukur bisa dinikmati orang lain.
Saya mendapatkannya dengan membeli dari nursery bonsai di kotaku, dari yang berbentuk bakalan, sampai pada yang sudah dikawat dan dipangkas untuk dibentuk.

Mudah-mudahan foto dalam postingan ini, bisa menjadi inspirasi bagi siapapun untuk mengetahui ataupu memulai memahami bahwa ternyata banyak di dunia bonsai untuk membuat kehidupan lebih berwarna dan mengasyikkan dengan merawat bonsai atau tanaman hias lainnya.
Selamat mencoba !...
Read more... Refresing dengan Bonsai Cemara Udang