Introspeksi tentu saja bukan hanya pada bulan istimewa Ramadhan, melainkan bisa kapan saja.
Menjelang Ramadhan tahun ini, hati kita terasa pilu, sedih dan prihatin oleh tragedi dari yang beskala individu sampai yang global.
Dunia semakin tua, dilanda bencana yang datang silih berganti dengan tingkat korban yang tak sedikit, baik jiwa maupun harta benda.
Sekurangnya saat mengetik postingan ini, saya baru saja menyaksikan berita di tv tengah terjadi gonjang ganjing politik dan ekonomi di pemerintahan serta partai SBY yang tak berhenti membangun citra lebih mementingkan partainya.
Katanya akan berada pada garis paling depan memberantas korupsi sementara anak buahnya ketua DPR RI Marzuki Ali mengobarkan agitasi untuk membubarkan KPK. Belum lagi ulah M.Nazaruddin yang menbuat energi bangsa ini terkuras hingga mengenyampingkan hal substanstif berpihak pada nasib dan penderitaan rakyat.
Sementara di luar negeri, saudara-saudara kita di Palestina, Libanon, Afghanistan dan di belahan bumi lainnya menghadapi tekanan, intimidasi dari kedzoliman negara zionis dan kolonialisme.
Tragedi dan bencana tersebut, ternyata tidak segera membuat sebagian masyarakat dunia khususnya di negeri kita sadar, untuk introspeksi kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Justru dalam keadaan sulit dan memprihatinkan tersebut, malah semakin marak melakukan ritual yang berbau syirik, mulai dari upacara tolak bala, larung sesajian hingga do'a bersama lintas agama yang berbau bi'dah.
Na'uzubillah minzalik ! Mereka masih yakin bahwa selain Allah yang menguasai langit dan bumi, masih ada kekuatan lain yang bisa murka dan memberi bencana. Menurut mereka tidak cukup hanya dengan do'a-do'a biasa, tetapi harus ditambah dengan sejumlah ritual tradisi yang mengandung keyakinan terhadap kekuatan ghaib lainnya.
Sebagian masyarakat kota juga ikut dihinggapi pendangkalan aqidah. Dengan alasan membangun kebersamaan dan toleransi beragama, mereka mengadakan do'a bersama.
Dalam acara ini, masing-masing pemimpin agama membaca do'a menurut agama dan keyakinan masing-masing. Boleh jadi, niat awalnya adalah membangun kebersamaan, tapi lambat laun bila upacara itu telah menjadi tradisi, maka masyarakat kita akan berkeyakinan bahwa semua agama itu baik dan benar.
Padahal jika semua agama benar, maka tidak perlu ada klaim kebenaran agama. Orang bisa saja hari ini beragama Kristen, besok beralih Islam, lusa sudah beragama Hindu ataupun Budha dan begitu seterusnya.
Bencana kemusrikan ini jauh lebih gawat dan lebih berbahaya daripada bencana alam itu sendiri. Jika bencana alam hanya akan menghancurkan sebagian dari sendi-sendi kehidupan dunia, bencana kemusyrikan akan menghancurkan kehidupan dunia dan akhirat sekaligus.
Di dunia Allah SWT akan mendatangkan bencana alam yang jauh lebih hebat dan dahsyat, sementara di akhirat akan datang azab dan laknat yang tak berkesudahan. Nauzubillah minzalik !
Akan lebih baik bagi kita terutama para da'i dan ustaz kondang yang sering muncul di stasiun tv agar mengurangi intensitas dakwah sensasional selama ini, tetapi memanfaatkan Bulan istimewa Ramadhan ini, segera menyiapkan secara khusus melayani mereka yang sedang haus jiwanya langsung ke lapangan.
Betapa luhur bila moment Ramadhan ini untuk saling berbagi, mendatangi rumah-rumah, tenda ataupun gubuk mereka untuk berbicara dari hati ke hati untuk kembali ke jalan lurus dan luas membentang di depannya menuju Allah SWT.
"Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan ringan ataupun merasa berat... (At-Taubah :41)"
Tidak elok terlalu egois dengan keshalehan individu sementara keshalehan sosial terabaikan. Kita perlu introspeksi dan menyadari bahwa sesungguhnya kita juga bisa menjadi juru dakwah, menyampaikan kebaikan walau dengan satu ayat. Kita perlu mencerahkan dan tidak membiarkan mata saudara-saudara kita rabun tertutup oleh awan pesimisme.
Selamat berdakwah, mari kita lakukan sekarang ! Waktu kita sangat sempit. Gunakan waktu untuk introspeksi dan berbagi di bulan intimewa Ramadhan. Wallahu a'lam bish-shawab.
*Dikutip dari berbagai sumber