Meragukan eksistensi Cinta berarti meragukan eksistensi Tuhan- seyogyanya disebut penghianatan terhadap Tuhan. Membicarakan Cinta sama halnya dengan membicarakan Tuhan, karena membicarakan sesuatu yang sifatnya abstrak dan misterius, tetapi getaran dan rasa biasnya dirasakan tanpa direncanakan.
Filsuf tersohor Helmet dan Rene Descartes memang pernah mengatakan, de omnibus dubitandum (Segala sesuatu harus diragukan). Mereka beranggapan bahwa meyakini yang ada dalam hidup ini harus dimulai dari meragukannya. Tetapi dalam pengakuan Helmet sendiri bahwa ia tidak akan pernah rela jika cintanya diragukan oleh kekasihnya Ophelia yang ia abadikan dalam puisinya :
Cinta dan mencintai adalah landasan dan dasar dari eksistensi manusia. Mereka yang tidak lagi memiliki kemampuan untuk mencintai tidak layak disebut manusia. Mati dan lenyapnya cinta di dunia berarti musnahnya manusia dan lenyapnya nilai-nilai kemanusiaan (humanisme values)
Kahlil Gibran mengatakan; hiduplah karena cinta, dalam cinta, dan untuk cinta. Ia pun mengatakan dalam salah satu tulisannya, bahwa cinta itu berasal dan akan kembali pada Tuhan, bahkan cinta berada dalam Tuhan dan merupakan bagian dari tubuh Tuhan itu sendiri.
Secara umum, cinta itu berasal dari kecenderungan dan ketertarikan perasaan pada sesuatu yang indah, menyenangkan, menggairahkan dan menyejukkan sehingga memunculkan obyek cinta yang beragam. Ada cinta ketuhanan, cinta kemanusiaan, cinta alam semesta dan cinta romantik (lawan jenis).
Dari semua obyek cinta ini para Sufi, Filosuf, dan tokoh-tokoh romantis menyimpulkan bahwa cinta kepada Tuhan adalah sumber dan muara dari berbagai bentuk cinta yang ada di muka bumi.
Sastrawan Jalaluddin Rumi bahkan berkesimpulan bahwa cinta adalah yang diciptakan Tuhan yang pertama kali. Karena Tuhan adalah segala-galanya dalam hubungan cinta, maka mencintai segala sesuatu dalam dunia harus mengarah kepada-Nya, dan harus berada di bawah naungan cinta-Nya.
Dalam wilayah kemanusiaan, seseorang pasti tidak terlepas dengan hubungan interaksional antara sesama mahkluk ciptaan Tuhan. Tentu saja hubungan itu diharapkan penuh dengan kasih sayang, kedamaian, keadilan dan saling menghargai hak sesama.
Semua itu akan terwujud jika dilandasi oleh cinta, karena semua keinginan adalah bagian kecil dari nilai-nilai dasar yang ada dalam cinta. Sehingga saling iri, saling hujat menghujat, saling caci, dan saling mencari kesalahan adalah perbuatan yang kontraproduktif dengan fitrah manusia yang mengerti tentang makna cinta.
Cinta kepada Tuhan adalah fitrah manusia yang akan melahirkan energi ilahiyah untuk berbuat sesuatu yang baik dan bermanfaat. Pecinta yang pernah mencium dan memeluk pacarnya sebelum ikatan pernikahan, kemudian ia tertawa bahagia dan merasa puas, maka ini bukan disebut cinta. Sebab semestinya ia harus menangis dan bertaubat karena sesungguhnya ia telah menodai esensi cinta pada Tuhan.
Dari berbagai sumber, image di sini
Read more... Meragukan eksistensi Cinta berarti meragukan Tuhan
Filsuf tersohor Helmet dan Rene Descartes memang pernah mengatakan, de omnibus dubitandum (Segala sesuatu harus diragukan). Mereka beranggapan bahwa meyakini yang ada dalam hidup ini harus dimulai dari meragukannya. Tetapi dalam pengakuan Helmet sendiri bahwa ia tidak akan pernah rela jika cintanya diragukan oleh kekasihnya Ophelia yang ia abadikan dalam puisinya :
Ragukan bahwa bintang-bintang itu api
Ragukan bahwa matahari itu bergerak
Ragukan bahwa kebenaran itu dusta
Tetapi jangan pernah meragukan cintaku.
Cinta dan mencintai adalah landasan dan dasar dari eksistensi manusia. Mereka yang tidak lagi memiliki kemampuan untuk mencintai tidak layak disebut manusia. Mati dan lenyapnya cinta di dunia berarti musnahnya manusia dan lenyapnya nilai-nilai kemanusiaan (humanisme values)
Kahlil Gibran mengatakan; hiduplah karena cinta, dalam cinta, dan untuk cinta. Ia pun mengatakan dalam salah satu tulisannya, bahwa cinta itu berasal dan akan kembali pada Tuhan, bahkan cinta berada dalam Tuhan dan merupakan bagian dari tubuh Tuhan itu sendiri.
Secara umum, cinta itu berasal dari kecenderungan dan ketertarikan perasaan pada sesuatu yang indah, menyenangkan, menggairahkan dan menyejukkan sehingga memunculkan obyek cinta yang beragam. Ada cinta ketuhanan, cinta kemanusiaan, cinta alam semesta dan cinta romantik (lawan jenis).
Dari semua obyek cinta ini para Sufi, Filosuf, dan tokoh-tokoh romantis menyimpulkan bahwa cinta kepada Tuhan adalah sumber dan muara dari berbagai bentuk cinta yang ada di muka bumi.
Sastrawan Jalaluddin Rumi bahkan berkesimpulan bahwa cinta adalah yang diciptakan Tuhan yang pertama kali. Karena Tuhan adalah segala-galanya dalam hubungan cinta, maka mencintai segala sesuatu dalam dunia harus mengarah kepada-Nya, dan harus berada di bawah naungan cinta-Nya.
Dalam wilayah kemanusiaan, seseorang pasti tidak terlepas dengan hubungan interaksional antara sesama mahkluk ciptaan Tuhan. Tentu saja hubungan itu diharapkan penuh dengan kasih sayang, kedamaian, keadilan dan saling menghargai hak sesama.
Semua itu akan terwujud jika dilandasi oleh cinta, karena semua keinginan adalah bagian kecil dari nilai-nilai dasar yang ada dalam cinta. Sehingga saling iri, saling hujat menghujat, saling caci, dan saling mencari kesalahan adalah perbuatan yang kontraproduktif dengan fitrah manusia yang mengerti tentang makna cinta.
Cinta kepada Tuhan adalah fitrah manusia yang akan melahirkan energi ilahiyah untuk berbuat sesuatu yang baik dan bermanfaat. Pecinta yang pernah mencium dan memeluk pacarnya sebelum ikatan pernikahan, kemudian ia tertawa bahagia dan merasa puas, maka ini bukan disebut cinta. Sebab semestinya ia harus menangis dan bertaubat karena sesungguhnya ia telah menodai esensi cinta pada Tuhan.
Dari berbagai sumber, image di sini