Suku bangsa yang satu ini sangat pandai menyesuaikan diri dengan kehidupan perairan Nusantara, bahkan sampai ke perairan Kepulauan Philiphila bagian selatan yang mungkin dikenal dengan sebutan Mindanao.
Mereka hidup berpindah-pindah di perairan laut dan teluk di sekitar Pulau Sulawesi, Kalimantan, Sumatera bagian timur, Kepulauan Maluku bagian utara dan Kepulauan Nusa Tenggara.
Jumlah orang Bajau atau Bajo di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 50.000 jiwa.
Kelompok yang paling banyak jumlahnya mungkin berada di sekitar Sulawesi Tengah, yaitu sekitar 25.000 jiwa. Di Sulawesi Selatan jumlahnya sekitar 8000-10000 jiwa . Di Maluku Utara sekitar 5000 orang, yaitu di sekitar pulau Obi, Bacan, Kayoa dan Suta. Sebagian ditemukan ditemukan di pantai utara Pulau Lombok, Sumba, Sumbawa bagian timur di Sape dan pulau-pulau kecil lainnya.
Ada pula yang mendiami beberapa daerah pantai dan teluk di Kalimantan selatan, Kalimantan Barat, Riau dan Jambi. Anggapan ini menyamakan pula Orang laut yang berdiam di Pulau Riau Kepulauan sebagai kelompok suku bangsa Bajau/Bajo. Tetapi adapula yang membedakannya, karena bahasa Orang Laut di RIau dengan bahasa orang Bajau pada umumnya berbeda, karena Orang laut menggunakan bahasa dengan dialek Melayu Kepulauan.
Para peneliti asing di Kalimantan melaporkan bahwa suku bangsa ini sebagai penyalur hasil hutan yang dikumpulkan penduduk pedalaman. Penulis-penulis Barat beranggapan bahwa suku bangsa ini sering digunakan oleh sultan-sultan melayu untuk merampok kapal-kapal pedagang Eropa.
. Orang Makasar menyebut suku bangsa ini orang Bayo atau Turije'ne' (baca turijeknek).
Orang Bugis menyebutnya orang Bajo. Masyarakat suku bangsa di sulawesi tengah umumnya menyebut mereka dengan sebutan orang Bajau.
Di sekitar perairan Malaysia disebut Bajaw. Di perairan Philipina disebut orang Sama.
Dalam literatur moderen disebut-sebut The Sea Gypsy. Penelitian mengenai orang Bajau secara menyeluruh nampaknya belum ada, kecuali penelitian terbatas pada sub kelompok-sub kelompok tertentu.
Bahasa Bajau yang terdapat di lingkungan perairan Indonesia memperlihatkan ciri kebahasaan yang sama dan hanya berbeda dialek dengan bahasa Bajau yang digunakan di perairan Malaysia dan Philipina Selatan. Ada anggapan bahwa bahasa mereka sebenarnya sama karena mereka selalu mengadakan interaksi musiman secara teratur. Selain itu pengaruh bahasa asing dianggap sedikit sekali, karena mereka suka menjauhkan diri dari kontak-kontak ekonomi dengan suku-suku bangsa lain kecuali hubungan dagang dengan orang bugis dan Makasar.
Mungkin sebagian besar memeluk agama Islam, cuma pengaruh sistem kepercayaan animisme laut masih amat kuat, sehingga menjadi salah satu ciri kebudayaan mereka yang khas itu. Pengaruh agama Islam mungkin diperoleh lewat interaksi dengan para pelaut Bugis yang juga tersebar di perairan Nusantara. Bedanya para pelaut Bugis masih mengenal pemukiman tertentu sebagai tempat tinggaldan terbuka untuk mengadakan hubungan yang lebih dalam dengan suku-suku bangsa lain.
Sistem perkawinan mereka terutama mengikuti hukum perkawina Islam dan ditambah dengan pengadaan upacara perkawinan menurut adat istiadat mereka yang sayang masih sedikit diketahui.
Seorang penganten perempuan akan ikut dengan perahu orang tua suaminya segera setelah upacara perkawinan selesai. Ada pula pasangan yang hidup di perahu buatan sendiri atau hadiah dari kerabat mereka. Ada pula pasangan baru yang lebih senang bergabung dengan perahu orang tua suami. Tidak diketahui apakah mereka berpoligami.
Mereka tidak berlayar sepanjang tahun, karena pada musim-musim tertentu mereka menetap di dekat pantai yang perairannya tenang sambil memperbaiki perahu dan alat-alat untuk menangkap ikan serta hasil laut lainnya, mengadakan kegiatan sosial seperti perkawinan, sunatan dan upacara lainnya.
Beberapa kelompok si Sulawesi Tengah dan Maluku Utara sudah ada yang mau menetap dan mendirikan sekolah.
Penduduk-penduduk lain di sekitar perairan Sulawesi Tengah dan Maluku Utara nampaknya sangat mengagumi dan mengakui keterampilan orang Bajau untuk hidup di laut. Mereka dikenal sebagai penyelam ulung, tahan berjam-jam di kedalam 10-20 meter untuk berburu ikan dengan tombaknya yang berkait dan senjata harpun buatan sendiri, atau mencari kerang mutiara untuk dijual kepada tengkulak yang akan menjualnya lagi ke pedagang Jepang. Selain ikan dan mutiara mereka juga mengumpulkan rumput laut, teripang, dan sirip ikan hiu yang harganya cukup bagus.
Ciri kebudayaan orang Bajau memang masih kabur, tetapi tidak syak lagi, bahwa sistem pengetahuan mereka tentang kelautan serta perbintangan amatlah luas, terutama pengetahuan mengenai lautan di lingkungan Indonesia.
Sumber pendukung: Grimes 1984; King 993.
pasti suku bajau jauh dr moderenisasi yahhh. tp ini perlu dilestarikan nih...
BalasHapusbtw makasih yahhh uda komen diblogku, n salam kenal...
benar coy... Mereka masih agak primitif
BalasHapusthanks balik coy... n salam kenal
Wah.... masalahnya agak rumit nih.... Kalau terbelakang nanti disangkannya pemerintah tidak memperhatikan kesejahteraan mereka, nah kalau mereka dimodernisasi timbul tuduhan juga bahwa pemerintah ingin merusak tatanan adat dan budaya yang sudah mereka pertahankan secara turun temurun. Kayak buah simalakama aja ya?? :(
BalasHapusMaaf nih ya bang Gaelby, sebenarnya saya kurang suka masuk blog Blogger yang "Select Profile"-nya nggak ada "Name/URL"-nya, soalnya terkadang agak repot dan agak malas bagi saya untuk login ke WordPress-nya dulu hanya untuk berkomentar di blog Blogger. Lha wong saya komentar di Blog wordpress yang lain juga nggak pernah login dulu... huehehe.....
thanks dah mampir n salam kenal...
BalasHapusAkan lbh baik kalau kita mengangkat keuniq-kan mereka via network terutama jaringan Spektrum Cs.
oh ya...Sy akan segera memperbaiki comment link di blog ini. Trims
Salam Cinta Damai dan Kasih Sayang.. maaf mas Gaelby.. waktu itu ketik alamatnya salah maka baru berkunjung neeeh
BalasHapusSalam Sayang
senang bgt bsa kenal kang boed...
BalasHapusdzazakumullah saudaraku....
wah enak dong bisa lihat orang suku bajo dan saya dengar mereka cantik2 ya bang??? :D ntar kalau noval ke sape ajak kesana ya bang :D
BalasHapusbahas gaya suku bajo dari sisi aplikasi nilai agama. di bajo sape perlu disentuh nilai itu.
BalasHapusyuph... ide bgus dlm waktu dekat, insyaAllah. thanks Rien
BalasHapusulasan yang keren mas gelby...
BalasHapussuku Bajo memang suku laut yang populasinya paling banyak dan tersebar di seluruh nusantara.
Tapi dibalik kebesaran kuantitasnya, orang Bajo terpuruk generasinya. saya pernah baca, di daerah asal suku Bajo sendiri di Sulsel, dari ratusan keluarga hanya 2 keluarga yang berhasil menyekolahkan anak2nya sampai perguruan tinggi. Dimana lainnya hanya puas mendidik anak2nya sampai SD atau SMP saja,. Sungguh sebuah ironi untuk suku yang ulet ditengah sebuah bangsa yang besar