Kasus Global TV yang terungkap melalui surat mantan Mensesneg Muladi bernomor B-602/M.Setneg/9/199 bertanggal 13 September 1999 mempunyai arti khusus bagi umat. Beberapa tahun silam, 'TV Islam' pernah dirintis, bahkan telah mengantongi izin. Sayangnya, tak ada follow up yang baik. Peluang itupun hilang.
Barangkali kita masih ingat pemberitaan sejumlah harian nasional beberapa tahun lalu tentang keluarnya izin beberapa station televisi swasta. Di antaranya adalah Global Tv, yang diharapkan dapat menampilkan nuansa Islam.
Harapan akan kehadiran "TV Islam" pun kembali bersemi. Itu tak berlebihan, mengingat umat Islam di republik ini adalah mayoritas. Kita pun bergembira. Semoga Global TV menjadi penyeimbang atas tayangan-tayangan yang selama ini kurang mendidik.
Lagi-lagi kita menelan pil pahit. Harapan tinggallah harapan. Global TV versi Islam gagal tayang, karena persoalan klasik: dana. Lebih dari itu tak adanya trush (kepercayaan).
Mengapa investor tidak berminat? Bukan hanya pendanaan dalam negeri yang enggan, investor Timur Tengah pun urung menanamkan dananya. Urungnya investor luar untuk masuk Global TV selain tidak ada follow up serius, bisa jadi berkaitan dengan kepercayaan. Sulitnya membangun kepercayaan (trust building) berbanding lurus dengan susahnya mencari dana dari pihak-pihak yang berduit. Sayangnya dari dulu hari ini hingga sekarang tak pernah diperbaiki. Mengapa? Sebab orang-orang yang memainkan "kartu" adalah para petualang (avonturir) yang masih diragukan keberpihakannya pada kepentingan Islam dan kaum Muslimin. Susah mengharapkan tsiqah (kepercayaan) dari orang-orang yang reputasinya tentang keumatan dan keberpihakannya pada ISlam tak pernah teruji.
Umat ini mempertanyakan keseriusan dan tanggungjawab para tokoh yang dulu pernah mengantongi izin Global TV di bawah bendera The International Islamic Forum for science Technology and Human Resourses Development (IIFTIHAR), Global TV sejak awal dimaksudkan sebagai televisi dengan syiar Islam, selain pendidikan, teknologi dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Jika kemudioan Global TV menayangkan program yang tidak sesuai dengan Visi Misi semula, maka para tokoh yang membidani televisi tersebut harus menjelaskannya pada umat. Meminjam ungkapan Muladi, mana tanggungjawab moralnya dan apa kendalanya sehingga dana untuk sebuah televisi yang bernuansa Islam yang sesungguhnya jadi dambaan kita semua tidak mengucur? Mengapa saat itu tidak ada transparasi kepada publik agar persoalan dana dapat diselesaikan oleh umat Islam?
Lantas sekarang di tengah gugatan terhadap isi siaran dan alih kepemilikan izin Global TV, pihak manajemen Global TV menyampaikan klarifikasi yang menegaskan bahwa tak ada pengalihan kepemilikan izin Global TV maupun perubahan isi siaran. Dalam kasus ini sebaiknya pihak manajemen tak usah menutup mata, bahwa di republik ini sudah dianggap lazim "jual beli" izin.
Di era Orde Baru, bukan rahasia lagi yang namanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) diperjual belikan. Caranya, sang pembeli masuk ke perusahaan penerbitan pers tersebut lalu mengucurkan dana. Kepemilikan saham pun berubah.
Karena ada peraturan yang sangat ketat, tak mudah mengganti pemimpin umum, pemimpin perusahaan dan pemimpin redaksi, maka ketentuan ini pun diakali. Biasanya nama-nama masih dipajang, meski realitanya sudah tak aktif lagi. Nama-nama pengelola baru pun dicantumkan dengan sebutan misalnya "pemimpin pelaksana redaksi" (untuk pemred), "pemimpin harian perusahaan" (untuk pemimpin perusahaan) dan sejenisnya.
Dalam kasus Global TV, memsang betul, izin prinsipnya tak berubah, masih tetap PT Global Informasi Bermutu (GIB). Tapi, orang-orangnya berubah, kepemilikan sahamnya pun berganti. Meski namanya bukan "jual beli", tapi dengan berubahnya kepemilikan saham, apalagi istilah yang tepat untuk kasus ini?
Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Bimo Nugroho Sekundatmo menyebut kasus perpindahan kepemilikan saham PT Global Indonesia Bermutu atas Global TV sebagai penyiasatan hukum. Menurutnya transaksi ini harus diselidiki, apakah saat Bimantara membeli 70% saham GIB waktu itu ada nilai asetnya. Jika tak ada asetnya, berarti sama dengan jual beli izin.
"Ini penyiasatan hukum. Ini namanya membeli tali dapat kerbau, karena sebenarnya yang diincar kerbau. Tetapi karena kerbau tidak bisa dipindah-tangankan, maka yang dibeli tali. Dicari, bagaimana caranya agar kerbau bisa dibawa," kata Bimo sebagaimana dikutip Detik.com (1/3). Ia melanjutkan jika nilai aset terbesar adalah frekuensi sementara aset lain tak ada nilainya, maka UU Telekomunikasi harus ditegakkan. "Ini namanya telah terjadi penyelundupan hukum yang mengakibatkan pindah tangannya frekwensi," ujarnya.
Apapun ceritanya, "akal-akalan" ini harus diusut dan dipertanggungjawabkan ke hadapan publik. Apalagi melihat dampaknya, dimana dengan mudah harapan Global TV sebagai televisi Islam, pupus bahkan berganti menjadi siaran yang jauh dari nilai-nilai Islam. Lucunya Departemen Komunikasi dan Informasi (Kominfo) seperti berkelit. Usulan pencabutan terhadap izin Global TV- karena dinilai disalahgunakan_menurut Dirjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi Depkominfo Gde Widyatnyana Merati, harus melalui putusan pengadilan. Padahal, tinggal diusut, jika benar tayangannya selama in menyalahi izin semula semestinya tinggal dicabut. Apa susahnya ?
Jika ada penyimpangan dalam pemberian izin frekuensi Global TV, menurut menurut Ade Armando dari KPI, maka frekuensi tersebut harus dikembalikan pada negara. Lalu negara menawarkan kembali kepada publik. Dalam hal ini berharap izin prinsip dan frekuensi Global TV dikembalikan kepada umat Islam. Karena sejatinya ia adalah milik dan aset umat yang pernah diusung melalui IIFTIHAR.
Kaum Muslimin harus menjadikan pelajaran pahit ini tidak terulang lagi. Kesungguhan dan tanggung jawab terhadap umat dalam menghadirkan TV Islam semestinya tidak dimainkan apalagi hanya untuk kepentingan sesaat.
"Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (berjihad) untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-banar beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS Al-Ankabuut:69)
Dikutip dari Majalah Sabili edisi 18 23/3/06
Tidak ada komentar:
Posting Komentar